Laman

Rabu, 02 Oktober 2013

“Pesantren : Peran Pendidikan Akhlak Peserta Didik”

Marso, S.Pd
(Staf Pengajar SMPIT
Ulul Albab Purworejo)

Sebaik-baik teladan adalah Nabi Muhammad saw. Apa saja nilai teladan dari
beliau? Bahwasannya beliau adalah manusia yang lemah lembut dalam perkataan, murah hatinya, mampu menguasai diri, suka memaafkan saat memegang kekuasaan,dan sabar saat ditekan. Disampiung itu, beliau juga memiliki sifat keberanian yang tinggi, patriotisme, dan kekuatan yang sulit diukur. Beliau sangat adil, sangat jujur perkataannya, dan sangat besar amanahnya. Sebelum masa kenabian, beliau dijuluki “Al – Amin” (terpercaya). Abu Jahal bahkan pernah berkata, “Kami tidak mendustakan dirimu, tetapi mendustakan apa yang Engkau bawa.” Ini menunjukkan betapa terpercayanya beliau sehingga walaupun orang kafir Quraisy mengingkari ajaran Islam yang beliau bawa, mereka tidak mengingkari akhlak terpuji beliau. Sifat tawadhu’ beliau tampak dalam kesehariannya, beliau tidak menginginkan orang-orang berdiri saat menyambut kedatangannya seperti yang penyambutan terhadap para raja. Beliau biasa menjenguk orang sakit, duduk bersama orang miskin dan menghadiri jenazah mereka, memenuhi undangan para budak, duduk di tengah para sahabat, sama seperti keadaan mereka.
Beliau mencuci pakaiannya, memerah air susu dombanya, dan membereskan urusannya sendiri. Beliau sangat memenuhi janji, menyambung tali persaudaraan, sangat bagus pergaulannya, tidak pernah berbuat dan menganjurkan kekejian, bukan termasuk orang yang suka mengumpat dan mengutuk, tidak pendendam, dan masih banyak sifat sifat teladan yang lain dari beliau. Seberapa besar peran serta orang tua dalam pendidikan anak? QS. Lukman (31) ayat 17, yang artinya: “Hai anakku, dirikanlah shalat, biasakanlah mengerjakan yang baik, cegahlah perbuatan yang buruk, dan bersabarlah (berhati teguhlah) menghadapi apa yang menimpa engkau, sesungguhnya (sikap) yang demikian itu termasuk perintah yang sungguh-sungguh.” Dari Abu Hafsh ‘Umar bin Abu Salamah, anak tiri Rasulullah saw., ia berkata: Sewaktu saya dan anak-anak dulu tinggal di bawah asuhan Rasulullah saw. dan pada saat itu tanganku meraih (makanan) dalam baki besar, Rasulullah saw. berkata kepadaku: “Wahai bocah, sebutlah nama Allah ta’ala, makanlah dengan tangan kananmu dan ambillah yang ada di depanmu.” Lalu selanjutnya begitulah caraku makan. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menjelaskan bahwa ketika anak tirinya sekalipun berbuat salah, dengan spontan Rasulullah menegurnya dan sekaligus membetulkannya.

Ada seorang anak yang merasa senang ketika menjumpai orang dewasa tersenyum bangga akan perbuatannya, dan adalah suatu kewajaran ia juga merasa senang karena telah menyenangkan orang lain. Maka masuk akal jika ia akan terus mengulangi perbuatan ‘menyenangkan’ tersebut. Padahal hal ini sama sekali tidak lagi menyenangkan jika ia tetap saja senang melakukannya lima atau sepuluh tahun mendatang. Seharusnya orangtua sesegera mungkin menyadari hal ini: semakin besar anak, kebiasaan yang tidak baik akan semakin sulit dilarang. Seringkali para orangtua menganggap hal-hal ‘remeh’ bisa mereka tolerir karena kasih sayang mereka kepada anak. Padahal perlakuan ‘menolerir’ itu secara perlahan akan membentuk karakter ‘monster’ dalam diri anak-anak mereka. Karakter yang suatu saat di masa depan akan menjadi bom waktu sekaligus senjata makan tuan yang akan menyakiti dan merugikan orangtua. Sementara si anak sendiri kebal dengan perasaan bersalah karena ia menganggap tanggung jawab orangtuanyalah untuk memenuhi segala keinginannya atau untuk menerima segala kelakuannya yang menurutnya ‘wajar-wajar’ saja sampai kapan pun. Itu resiko di dunia. Bagaimana di akhirat nanti ketika semua hal yang ada di bawah tanggungan kita harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Khalik? Pembelaan apa yang akan kita katakan kepada-Nya?

Ada apa dengan pendidikan kita?

Kalau kita cermati bahwa pendidikan sekarang ini sudah banyak mengalami pemutarbalikan fakta. Satu sisi kita telah membuat kurikulum pendidikan yang menurut pemikiran kita sangat diharapkan memiliki kehandalan dalam peningkatan intelektualitas, namun di sisi lain perilaku akhlak dan nilai-nilai islami anak didik kita pada umumnya mengalami degradasi moral.

Banyak kejadian nyata dari aktifitas anak didik (pelajar) seperti tindakan kriminalitas, pergaulan bebas, narkoba, dll. Ini sebagai pengakuan nyata tentang pendidikan kita masih jauh dari akhlak Rasulullah sebagai teladan hidup kita. Melihat realita tersebut diatas barangkali kita perlu merefleksikan bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita. Kita melihat pendidikan agama, misalnya, yang diajarkan di sekolah unum nampaknya belum dapat menyentuh titik sentral dari moral siswa. Sebab, pendidikan agama yang diajarkan kepada mereka sebatas pada nilai-angka, baik berupa hafalan ayat, sejarah dan sebagainya. Selayaknya kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan budi pekerti seperti akhlak baginda Rasulullah saw

Peran pendidikan pesantren dalam pendidikan karakter anak.

Pondok pesantren sebagai satuan pendidikan luar sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional. Sitem pendidikan mengandung beberapa sistem yang saling berkaitan dengan tujuannya. Dalam prakteknya, di samping menyelenggarakan kegiatan pengajaran, pesantren juga sangat memperhatikan pembinaan pribadi melalui penanaman tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pesantren. Hal ini didasari oleh beberapa factor diantaranya adalah factor lingkungan yang meliputi system asrama (boarding), Perilaku para ustadz dan ustadzahnya sebagai central figure serta pengamalan dari ilmu-ilmu yang diperolehnya. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pergeseran paradigma pembangunan pendidikan, pesantren kini digiring untuk dilengkapi dengan pendidikan formal, sehingga pesantren di samping menyelenggarakan pendidikan non formal juga menyelenggarakan pendidikan formal.

Dalam mengembangkan strategi pembelajaran dilingkungan pesantren, maka perlu kita menginternalisasikan (memasukkan) nilai pendidikan akhla kedalam kurikulumnya. Kegiatan-kegiatan kesiswaan juga harus diramu sedemikian rupa sehingga nilai-nilai akhlak islami dan ilmu kajian ilmiah terpadu berjalan secara koheren (berhubungan).

Wallohu a’lam bishowab.

Dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar