Eutanasia Dalam Pandangan
Fiqh Islam
Oleh: Hani Fauziah, Lc.
PENGANTAR
Ini merupakan satu persoalan yang sampai kepada saya di antara
sekian banyak persoalan mengenai kedokteran Islam dan hukum-hukumnya serta
adab-adabnya, yang disampaikan lewat surat oleh Ikatan Dokter Islam Afrika
Selatan. Persoalan pertama mengenai masalah berikut:
QATL AR-RAHMAH ATAU TAISIR AL-MAUT (EUTANASIA)
Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir al-maut (eutanasia) ialah
tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit,
karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik
dengan cara positif maupun negatif.
Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah
tindakan memudahkan kematian si sakit --karena kasih sayang-- yang dilakukan
oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat). Beberapa contoh di
antaranya:
1. Seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar
biasa hingga penderita sering pingsan. Dalam hal ini dokter yakin bahwa yang
bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya,
tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2. Orang yang mengalami keadaan koma yang sangat lama, misalnya
karena bagian otaknya terserang penyakit atau bagian kepalanya mengalami
benturan yang sangat keras. Dalam keadaan demikian ia hanya mungkin dapat hidup
dengan mempergunakan alat pernapasan, sedangkan dokter berkeyakinan bahwa
penderita tidak akan dapat disembuhkan. Alat pernapasan itulah yang memompa
udara ke dalam paru-parunya dan menjadikannya dapat bernapas secara otomatis.
Jika alat pernapasan tersebut dihentikan, si penderita tidak mungkin dapat
melanjutkan pernapasannya. Maka satu-satunya cara yang mungkin dapat dilakukan
adalah membiarkan si sakit itu hidup dengan mempergunakan alat pernapasan
buatan untuk melanjutkan gerak kehidupannya. Namun, ada yang menganggap bahwa
orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu
melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang
positif untuk memudahkan proses kematiannya.
Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif (taisir al- maut
al-munfa'il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya
dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya. Contohnya
seperti berikut:
1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam
keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam
penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena
serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati --padahal masih ada
kemungkinan untuk diobati-- akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.
2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita
tashallub al-Asyram (kelumpuhan tulang belakang) atau syalal almukhkhi
(kelumpuhan otak). Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan --tanpa
diberi pengobatan-- apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit
otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut.
At-tashallub al-asyram atau asy-syaukah al-masyquqah ialah kelainan
pada tulang belakang yang bisa menyebabkan kelumpuhan pada kedua kaki dan
kehilangan kemampuan/kontrol pada kandung kencing dan usus besar. Anak yang
menderita penyakit ini senantiasa dalam kondisi lumpuh dan selalu membutuhkan
bantuan khusus selama hidupnya.
Sedangkan asy-syalal al-mukhkhi (kelumpuhan otak) ialah suatu
keadaan yang menimpa saraf otak sejak anak dilahirkan yang menyebabkan
keterbelakangan pikiran dan kelumpuhan badannya dengan tingkatan yang
berbeda-beda. Anak yang menderita penyakit ini akan lumpuh badan dan pikirannya
serta selalu memerlukan bantuan khusus selama hidupnya.
Dalam contoh tersebut, "penghentian pengobatan" merupakan
salah satu bentuk eutanasia negatif. Menurut gambaran umum, anak-anak yang
menderita penyakit seperti itu tidak berumur panjang, maka menghentikan
pengobatan dan mempermudah kematian secara pasif (eutanasia negatif) itu
mencegah perpanjangan penderitaan si anak yang sakit atau kedua orang tuanya.
PERTANYAAN
Berkaitan dengan permasalahan tersebut muncul pertanyaan- pertanyaan
berikut:
1. Apakah memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia
positif) ditolerir oleh Islam?
2. Apakah memudahkan proses kematian secara pasif (eutanasia
negatif) juga diperbolehkan dalam Islam?
JAWABAN
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti
pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara'. Sebab yang demikian itu
berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal
ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam
contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun
dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram
hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan
meskipun yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk
meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih
pengasih dan penyayang daripada Dzat Yang Menciptakannya. Karena itu
serahkanlah urusan tersebut kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi
kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang
telah ditetapkan-Nya.
Adapun contoh kedua dari eutanasia positif ini kita tunda dahulu
pembahasannya setelah kita bicarakan eutanasia negatif.
EUTANASIA NEGATIF (MENGHENTIKAN/TIDAK MEMBERIKAN PENGOBATAN)
Adapun memudahkan proses kematian dengan cara pasif (eutanasia
negatif) sebagaimana dikemukakan dalam pertanyaan, maka semua itu --baik dalam
contoh nomor satu maupun nomor dua-- berkisar pada "menghentikan
pengobatan" atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan
tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum
Allah terhadap alam semesta) dan hukum sebab-akibat.
Diantara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah
bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur
fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini
hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang
mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam Syafi'i dan Imam
Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyah,1 dan sebagian
ulama lagi menganggapnya mustahab (sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama:
berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit
epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab:
"'Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan
mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu.' Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. 'Sebenarnya saya tadi
ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar
saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.' Lalu Nabi mendoakan orang itu agar
tidak meminta dihilangkan penyakitnya."2
Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan
tabi'in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang
memilih sakit, seperti Ubai bin Ka'ab dan Abu Dzar radhiyallahu'anhuma. Namun
demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.3
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali telah menyusun satu bab
tersendiri dalam "Kitab at-Tawakkul" dari Ihya' Ulumuddin, untuk
menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam
keadaan apa pun.4
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah berobat atau
pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah,
sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian kecil lagi --lebih
sedikit dari golongan kedua-- berpendapat wajib.
Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan yang mewajibkannya
apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh
sesuai dengan sunnah Allah Ta'ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw. yang biasa berobat dan
menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam
Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma'ad.5 Dan paling tidak, petunjuk Nabi
saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat hukumnya mustahab atau
wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya. Sedangkan jika sudah
tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam hukum sebab-akibat
yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya --yaitu para dokter-- maka
tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan
--dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau
menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu
kedokteran modern-- dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja
tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak
mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang
wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir al-maut) --kalau boleh
diistilahkan demikian-- semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan
istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini
tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan
sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara'
--bila keluarga penderita mengizinkannya-- dan dokter diperbolehkan
melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
MEMUDAHKAN KEMATIAN DENGAN MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ALAT BANTU
PERNAPASAN
Sekarang saya akan menjawab contoh kedua dari eutanasia positif
menurut pertanyaan tersebut --bukan negatif-- yaitu menghentikan alat
pernapasan buatan dari si sakit, yang menurut pandangan dokter dia dianggap
sudah "mati" atau "dihukumi telah mati" karena jaringan
otak atau sumsum yang dengannya seseorang dapat hidup dan merasakan sesuatu
telah rusak.
Kalau yang dilakukan dokter itu semata-mata menghentikan alat
pengobatan, hal ini sama dengan tidak memberikan pengobatan. Dengan demikian, keadaannya
seperti keadaan lain yang diistilahkan dengan ath-thuruq al-munfa'ilah
(jalan-jalan pasif/eutanasia negatif).
Karena itu, saya berpendapat bahwa eutanasia seperti ini berada di
luar daerah "memudahkan kematian dengan cara aktif" (eutanasia positif),
tetapi masuk ke dalam jenis lain (yaitu eutanasia negatif; Penj.)
Dengan demikian, tindakan tersebut dibenarkan syara', tidak
terlarang. Lebih-lebih peralatan-peralatan tersebut hanya dipergunakan
penderita sekadar untuk kehidupan yang lahir --yang tampak dalam pernapasan dan
peredaran darah/denyut nadi saja-- padahal dilihat dari segi aktivitas maka si
sakit itu sudah seperti orang mati, tidak responsif, tidak dapat mengerti
sesuatu dan tidak dapat merasakan apa-apa, karena jaringan otak dan sarafnya sebagai
sumber semua itu telah rusak.
Membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu hanya akan
menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga
menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya
dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Di sisi lain, penderita
yang sudah tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya
selalu dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun
lamanya.
Saya telah mengemukakan pendapat seperti ini sejak beberapa tahun
lalu di hadapan sejumlah fuqaha dan dokter dalam suatu seminar berkala yang
diselenggarakan oleh Yayasan Islam untuk ilmu-ilmu Kedokteran di Kuwait. Para
peserta seminar dari kalangan ahli fiqih dan dokter itu menerima pendapat
tersebut.
Segala puji kepunyaan Allah yang telah memberi petunjuk kepada kita
ke jalan Islam ini, dan tidaklah kita akan mendapat petunjuk kalau bukan Allah
yang menunjukkan kita.
Catatan kaki: 1 Al-Fatawa al-Kubra, karya Ibnu Taimiyah, juz 4, hlm.
260, terbitan Mathba'ah Kurdistan al-Ilmiah, Kairo. 2 Muttafaq 'alaih.
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam "Kitab al-Mardhaa" dan Muslim dalam
"Kitab al-Birr wash-Shilah," hadits nomor 2265. 3 Ibnu Taimiyah, op
cit. 4 Ihya 'Ulumuddin, juz 4, hlm. 290 dan seterusnya. 5 Zadul-Ma'ad, juz 3,
terbitan ar-Risalah, Beirut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar